Pemimpin belajar memimpin

Memimpin adalah seni, seni dalam mempengaruhi orang lain dan ini adalah proses. Dikata seperti itu (proses) sebab yang terutama sekali disini dan menjadi sangat penting adalah kemampuan untuk memimpin diri sendiri, selagi seseorang tidak mampu memimpin diri sendiri, tidak perlu kiranya berharap untuk memimpin orang lain.

Kecenderungan yang terjadi adalah pengabaian kepemimpinan diri sendiri dan berusaha memimpin dan mempengaruhi orang lain, hasilnya bukan memimpin tetapi memerintah  bahkan memaksa orang lain (dengan beragam cara dan sifat orang lain untuk mengikuti kehendak).

Pada dasarnya setiap orang adalah pemimpin, namun tiap orang tidak akan lepas dari orang lain, maka tiap orang juga membutuhkan kepemimpinan orang lain. Dari sini terdapat juga proses belajar, secara sederhana proses belajar adalah juga suatu proses berubah; dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak mengerti menjadi mengerti, berubah bukan? Terutama dalam hal perilaku, belajar tanpa ada perubahan tingkah laku ibarat pohon yang tiada berbuah. Percuma.

Dalam belajar seseorang juga turut mempelajari aturan, misalnya ketika belajar mengendarai sepeda motor yang tidak hanya mempelajari cara mengendalikan mesin yang mengefektifkan transportasi kita tersebut, tapi aturan berkendaranya juga. Kalau hanya sekedar mempelajari cara mengendalikan mesinnya saja, hasilnya ya babak belur di jalan raya.

Mempelajari lalu mengetahui aturan adalah kewajiban, sebagaimana yang pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer “Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas” yang dapat dipahami dalam hal ini adalah semakin dalam pengetahuan seseorang maka semakin banyak pula aturan yang dia pahami, kecenderungan dalam realitas memang sering terbalik dimana semakin tinggi pendidikan seseorang malah semakin tidak mengenal batas, sebaliknya malah tambah rakus.

Demikian pentingnya proses belajar, tentunya sangat penting bagi seorang pemimpin yang sekaligus berperan sebagai panutan (teladan), akan jadi pertanyaan ketika seorang pemimpin tidak mau belajar, apa yang dapat di’panut’ dari seorang pemimpin yang enggan belajar? Sebagaimana juga guru, yang katanya ‘digugu dan ditiru’ yang harus memiliki semangat belajar tinggi yang tidak kalah dengan anak didiknya, apa yang dapat dipelajari dari guru yang enggan belajar, bukan?

 

Perlu mendapat perhatian disini adalah juga tentang tiga kecerdasan yang harus dimiliki seorang pemimpin, antara lain:

Kecerdasan spiritual/ spiritual quotient (SQ), terkait kesadaran akan siapa diri. Menurut Nabi Muhammad, siapa yang mengenali dirinya maka ia pun mengenal Tuhannya. Lebih dari itu, pengetahuan keagamaan adalah sangat penting terkait pemimpin juga adalah seorang teladan bagi yang dipimpin.

kedua adalah emosional/Emotional quotient (EQ), terkait dengan perasaan memang dan penataan emosi yang nantinya diharapkan juga terdapat penguasaan dan pengendalian diri, secara sederhananya adalah kedisiplinan yang terkait dengan penempatan segala sesuatu dengan tepat dan benar, termasuk menempatkan diri dengan tepat dan benar. Benar harus digaris bawahi sebab menyangkut perilaku yang sesuai dengan aturan. Bagaimana jadinya jika kita dipimpin oleh seorang yang tidak terkendali?

Selanjutnya adalah kecerdasan intelektual (IQ), seseorang yang terasah kecerdasan intelektualnya adalah seseorang yang mampu membedakan antara yang salah dan yang benar. sekali lagi’yang benar’. Kecerdasan intelektual akan memberikan banyak pilihan bagi seseorang untuk merumuskan kebijakan (keputusan). Dan yang patut diingat, dalam kecerdasan ini, peran hati nurani sungguh cukup besar. Seorang pemimpin yang terasah kecerdasan intelektualnya juga merupakan seorang kreator bagi yang dipimpinnya, dengan begitu ia tidak akan mudah dihasut dan dijilat.

Memang tidak terdapat ciri-ciri yang dapat menunjukkan sosok pemimpin yang ideal, kembali lagi, proses belajar menjadi hal utama disini, pemimpin yang memiliki semangat belajar yang tinggi bisa jadi merupakan sosok ideal sebab pemimpin yang seperti ini akan senantiasa berbenah. Pemimpin yang senantiasa berbenah tentunya adalah sosok yang lebih mengutamakan orang-orang yang dipimpinnya; terbuka dan tidak segan mengajak orang lain untuk selalu bersiap dengan perubahan. Lebih dari itu, dalam hal pembangunan bangsa hingga saat ini adalah munculnya sosok-sosok yang mampu menjadi teladan, tentunya untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang baik, bukankah dari masyarakat yang baik akan muncul pemimpin yang baik? Tentu pula pembangunan semacam ini berangkat dari lingkup terkecil dalam masyarakat: keluarga, dan belajar adalah proses tanpa akhir sebagaimana sering kita dengar “menuntut ilmu adalah jihad.” Salam.

 Yoehan Rianto Prasetyo

Nation Character Building

Di mata Sukarno, sebuah bangsa yang telah dijajah 3,5 abad lamanya, tentunya meninggalkan banyak sekali kerusakan, ubtuk itu (bagi Soekarno) perlu ditekankan pembangunan mental dan karakter kebangsaan untuk membenahi setiap sendi kehidupan bangsa~terutama sekali disini adalah mentalitasnya.

 

Selama berabad-abad bangsa ini menjadi budak bangsa lain, bahkan ada sebagian yang harus rela jadi pengkhianat semacam centeng ataupun mata-mata sekedar untuk bertahan hidup. Ketertundukkan, ketergantungan, ketakutan dan jilat-menjilat malah jadi tradisi hingga saat ini, bahkan memperbudak bangsa sendiri jika perlu, padahal perbudakan adalah hal yang tidak manusiawi dan sudah seharusnya kita memerangi segala yang tidak manusiawi.

 

Demikian, bagi Soekarno adalah sangat penting untuk membenahi mentalitas bangsa Indonesia.

 

Sedikitnya ada empat gagasan Soekarno dalam hal ini, yang pertama adalah kemandirian yang oleh Soekarno dikenalkan dengan istilah “Berdikari”- berdiri diatas kaki sendiri, logika sederhananya adalah ketika seseorang memiliki ketergantungan yang besar terhadap orang lain, maka ia semakin terasing dalam kehidupannya; tidak mengenal kehidupannya, begitupun suatu bangsa yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bangsa lain, (dan) sedang Indonesia memiliki potensi alam yang melimpah.

 

Kedua, kedaulatan rakyat untuk mengganti sistem-sistem sebelumnya seperti feodalisme dan kolonialisme.Sampai ketika artikel ini ditulis, sistem-sistem tersebut masih juga berlaku-baik secara sadar maupun tidak sadar, dilakukan oleh pejabat; aparat maupun masyarakat. Kedaulatan rakyat, dimana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, bukan para raja atau pemilik modal. Untuk itu, perlunya penegakkan hukum untuk menjamin keadilan sosial, bukan hukum atau peraturan yang memiliki ‘standar ganda’ dalam pelaksanaannya, tidak hanya efektif untuk rakyat kecil tapi bisa toleran bagi orang-orang dalam lingkar kekuasaan dan para pemodal.

 

Ketiga, persatuan, ini yang maha penting, terkait pula disini adalah nasionalisme yang ditekankan oleh Soekarno yaitu sosionasionalisme, dimana nasionalisme yang tidak hanya sekedar mencintai tanah air dan bangsanya saja, tapi lebih mendasarkan diri kepada kecintaannya untuk memperjuangkan rakyat kecil. Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni oleh beragam suku, ethnik yang harus dipersatukan dalam satu kesadaran berbangsa. Lebih lanjut, pernah juga Soekarno mengungkapkan “nasionalismeku adalah perikemanusiaanku” yang juga memberi perbedaan secara tegas antara nasionalisme yang harus ada di Indonesia dengan nasionalisme bangsa Eropa, menurut Soekarno nasionalisme Eropa telah memunculkan kolonialisme dan imperialisme yang menghisap, sedang nasionalisme Indonesia itu harus berdasarkan kegotong royongan dan kesetaraan (egalitarian).

 

Keempat bargaining position, katakan saja kewibawaan bangsa dan negara, terkait dengan alasan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sebagaimana terbentuknya negara pada umumnya negara-negara didunia yaitu mewujudkan keamanan dan ketertiban untuk mencapai kesejahteraan nasional. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya kewibawaan negara, kewibawaan negara meredup tatkala hukum peraturan perundang-undangan mulai dapat dinegosiasi, yang terjadi adalah berlakunya hukum rimba: yang kuat yang menang. Sebagaimana juga semboyan sekaligus prasyarat kapitalisme-liberalistis “peran negara sekecil-kecilnya, pasar sebesar-besarnya.” Dengan begitu, jangankan bangsa, negara saja akan kehilangan kewibawaannya bukan?.

 

Patut diingat pula, manusia memiliki kecenderungan untuk berubah, maka nation character building adalah suatu proses yang tidak berhenti, sebab karakter akan selalu mengikuti perubahan manusia itu sendiri, dan karakter adalah suatu moral atau akhlak yang berada diatas suatu bangunan watak, tabiat atau kepribadian yang juga menjaga sekaligus membentuk watak kepribadian tersebut.

 

Kecenderungan manusia untuk berubah adalah untuk menyempurnakan kepribadiannya- menyesuaikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Manusia dianugerahi dua jalan, manusia berjalan dalam hidupnya berbuat salah lalu bertobat dan berbenah agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Begitupun moralitas selalu menuju universalitas sebab dia memiliki dasar adalah kemanusiaan, dan kemanusiaan adalah sama dimanapun dan kapanpun.

 

Dan dialog terbuka antar generasi adalah suatu harapan untuk mencapai kesempurnaan itu, disamping harus berpedoman dan kembali pada perintah Tuhan, sebagai seorang muslim saya katakan bahwa manusia itu harus selalu kembali kepada Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, dan bukankah Islam adalah “rahmatan lil’alamin” bagaimana mungkin dapat mewujudkannya jika perilaku tidak “rahmatan”? Sebagaimana sering saya berdo’a “Robbana atinnafidunya khasanah, wa fil akhiroti khasanah…” yang berarti saya harus menjadi “khasan” itu dulu untuk mencapai “khasanah” dunia dan akhirat.

kekerasan dalam varian budaya

 

Membicarakan kekerasan sama halnya dengan membicarakan sejarah manusia, sejarah selalu diwarnai dengan kekerasan, atau bahkan kekerasan itulah sejarah manusia yang juga diawali dengan kekerasan, sebagaimana kisah Habil dan Qabil yang cukup menggambarkan tindak kekerasan awal manusia terhadap sesamanya, berlanjut juga dalam epose Mahabarata. Dan bahkan kekerasan telah pula digambarkan sebelum manusia diciptakan.

Sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30.

 

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

 

Gambaran dimana malaikat mulai mempertanyakan penciptaan manusia yang mereka ketahui hanya akan berbuat kerusakan, seakan terdapat prediksi dari akibat-akibat perbuatan manusia yang memiliki catatan panjang tentang tindak kekerasan. Tapi, toh malaikat harus tunduk dengan jawaban yang cukup memuaskan: bahwa hanya Tuhanlah yang mengetahui rahasia maksud dari penciptaanNya.

 

Dari tulisan ini, bukan bermaksud untuk memvonis bahwasannya kekerasan adalah sifat dasarnya manusia. Bukan. Hal tersebut tidak manusiawi dan terlalu sederhana untuk memandang manusia yang kompleks. Pun dalam kajian ilmu sosial juga telah terdapat usaha untuk menganalisis kekerasan dari beragam sudut hingga sempat melibatkan ilmu psikologi bahkan biologi untuk mengkaji kekerasan.

 

Tulisan kali ini coba membedah kekerasan yang muncul dari varian-varian budaya yang memang cukup populer akhir-akhir ini, kemajuan teknologi tidak hanya mempermudah manusia dalam mengakses informasi tapi juga membuka jalan yang mudah bagi proses asimilasi dan akulturasi, yang juga tidak hanya membuka peluang persaingan antar ragam budaya, tapi juga telah memunculkan varian-varian budaya hasil refisi sekaligus adaptasi.

 

Ah, terlalu rumit, belum lagi terjawab persoalan kekerasan malah dibingungkan dengan pembahasan budaya, memang tidak cukup hanya dengan menyebut sub-cultur untuk budaya-budaya kecil, sebab pada kenyataannya dari sub-cultur tersebut telah pula memunculkan sempalan-sempalan yang dapatlah dikatakan serupa tapi tak sama.

 

Ambil contoh komunitas punk yang cukup digemari pemuda-pemuda liberal di jalanan, dari sub-cultur yang satu ini telah muncul beberapa sub lagi yang sejenis, seperti crusty punk, punk street, dan sebutan-sebutan lain untuk para pengagum musik dan gaya hidup impor ini. Lain waktu ada kemungkinan pemuda-pemudi kita menyumbang satu nama lagi, mungkin ndeso punk atau apapun untuk menyatakan anti kemapanan.

 

Kembali pada kekerasan, menurut perspektif sosiologis, kekerasan muncul dari kefrustasian, terhambatnya saluran-saluran untuk pemecahan suatu masalah. Tentu kita tidak harus selalu bersandar dengan pandangan seperti ini sebab sebagaimana ‘kejahatan’, kekerasan bisa saja terjadi karena adanya kesempatan.

 

Johan Galtung, seorang pakar kriminologi memiliki pendapat kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Dengan kata lain bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, maka ada kekerasan. Realisasi potensial ialah apa yang mungkin untuk diwujudkan sesuai dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan kemajuan yang dicapai oleh jamannya. Penyalahgunaan hal-hal tersebut untuk tujuan lain atau dimanipulasi oleh sekelompok orang berarti ada kekerasan.

 

Dari sini muncul penggunaan istilah kekerasan untuk menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Kekerasan terbuka adalah kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian. Kekerasan tertutup adalah kekerasan yang tidak secara langsung, seperti mengancam. Kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu .Kekerasan defensive adalah kekerasan yang dilakukan untuk perlindungan diri(http://nilaieka.blogspot.com/2009/05/teori-kekerasan.html). Begitupun dengan kekerasan secara kolektif dan bentuk-bentuk terorisme. Jadi tidak lagi semata penggunaan kekuatan fisik, tapi juga efektifitas upaya-upaya pemaksaan gagasan dan nilai-nilai katakanlah upaya dominasi yang pada dasarnya hanyalah bentuk isolasi diri.

 

Dari sini muncullah asumsi yang membatasi kesadaran seseorang terhadap kemanusiaan, seakan hanya terbatas pada: ‘golongan kita’ dan ‘golongan bukan kita’ lebih jauh lagi dengan sebutan ‘golongan musuh’. Ini merupakan situasi yang sangat potensial bagi munculnya kekerasan, yang sekali lagi tidak hanya dalam bentuk fisik, tapi dalam beragam bentuk, bukankah dengan berkata-kata seseorang juga dapat melakukan kekerasan?.

 

Kecenderungan semacam ini tidak saja dimiliki oleh agen budaya yang dominan, tapi juga oleh sub-cultur yang muncul akibat ketidak sepakatannya dengan gagasan dan nilai-nilai yang ~ selalu saja dipaksakan oleh budaya yang dominan.

 

Untuk itu kiranya perlu mendiskusikan berulang-ulang tentang nilai-nilai, tentang baik dan buruk dengan tidak saling mengisolasi diri apalagi membebani dengan penggolongan-penggolongan yang pada dasarnya tidak manusiawi. Toh essensi manusia sama, yang berbeda hanyalah dalam superfisialnya saja tentang apa yang disenangi. Dan tak perlu untuk menciptakan permusuhan jika sekedar masalah senang dan tidak senang, dan upaya pemaksaan gagasan hanyalah tindakan ideologis yang mengingkari kemanusiaan.

 

Akhirnya adalah harapan untuk melaksanakan “bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa” dengan semangat pluralism tanpa ada upaya untuk memanipulasi ke’bhinekaan’ itu sendiri. Salam punakawan berdaulat.

 Yoehan Rianto Prasetyo

Kepemimpinan Pancasila (Proses keteladanan dan ‘nation carachter building’)

Manusia dalam kehidupannya akan selalu terlibat dalam organisasi, sebagaimana kodratnya yaitu sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, tidak dapat seorang manusia mampu menjalani hidupnya tanpa ada keterlibatan dari orang lain.

Namun begitu, sungguh tak patut pula kiranya jika seorang manusia menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang lain. Dapat pula dikatakan bahwasannya manusia selalu berada dalam bayang-bayang ketakutan hingga terdapat dorongan dalam dirinya untuk selalu terlibat dalam suatu organisasi, disinilah fungsi daripada organisasi bagi manusia, selain sebagai naungan manusia untuk meminimalisir rasa ketakutannya, pun juga untuk membuka saluran-saluran bagi kepentingannya.

Figur pemimpin mutlak diperlukan dalam sebuah organisasi, tentu agar organisasi tersebut lengkap dan memiliki bentuk, seorang pemimpin akan menampilkan kesan dari ruang lingkup organisasi yang ia pimpin. Dan tidak ada satupun bentuk organisasi yang hadir tanpa seorang pemimpin, bahkan dalam suatu geng berandalan pun pasti terdapat seorang pemimpin.

Lebih jauh dari itu, ada pendapat yang menyatakan “dalam suatu masyarakat yang buruk akan terlahir pemimpin yang buruk”, tentu secara logika dapat dibenarkan pendapat yang demikian, dimana lingkungan juga memiliki andil dalam membentuk karakter seseorang, untuk itulah akhir-akhir ini sering terdengar dari lingkungan pendidikan Indonesia tentang ‘pendidikan berkarakter’~inipun sebenarnya telah lama didengungkan oleh Ir. Soekarno tentang pembangunan watak manusia Indonesia merdeka yang sering ia sebut dengan istilah “nation carachter building”. Tapi toh pada kenyataannya sejarah mencatat bangsa ini sering terjebak dalam penafsiran tunggal atas Pancasila, selalu saja hampir terjebak dalam bentuk kolektivisme yang menyesatkan. Saya katakan ‘hampir’ sebab selalu juga bangsa ini terselamatkan dari keadaan yang demikian.

Dalam era kepemimpinan Ir. Soekarno bangsa ini terjebak dalam demokrasi terpimpin yang lebih condong pada paham kiri (sosialis-komunisme), dimana terjadi penafsiran tunggal atas Pancasila, tidak lebih baik juga pada masa ORBA dibawah kepemimpinan Jenderal Purnawirawan Soeharto yang terang-terangan mengklaim pelaksanaan demokrasi Pancasila, pada masa ini Pancasila juga mengalami penafsiran tunggal dan nyata kesan doktrinernya lewat P4 yang kebablasan.

Dengan begitu, adalah sangat penting bagi bangsa Indonesia yang telah bersusah payah memperkenalkan dirinya kepada masyarakat dunia sebagai bangsa yang ramah dan santun, untuk kembali berbenah.

Dalam tulisan ini akan coba dipaparkan gagasan tentang penafsiran Pancasila untuk mengajak masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi generasi bangsa Indonesia, untuk kembali menggali secara kreatif nilai-nilai dalam Pancasila, tentunya dalam hati kecil penulis yang terlalu muluk-muluk berharap kita semua akan mampu menemukan bentuk jati diri kebangsaan kita yang telah lama dibangun. Tentu dari sini, keterlibatan langsung generasi bangsa Indonesia akan memberi arti lebih dalam dialog-dialog pencarian daripada diam dan mem’mbebek’ yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan diri pada jebakan-jebakan kolektivisme.

Pemimpin dan proses keteladanan kepemimpinan

“Tidak ada kemalangan paling sengsara

Sepanjang takdir manusia,

Kecuali ketika para penguasa di dunia

Tidak menjadi manusia unggul.

Jika itu terjadi, maka segalanya

Menjadi palsu, miring dan mengerikan”

(Nietzsche-Zarathustra)

Potongan dialog diatas ditulis oleh seorang sastrawan yang juga telah diangkat menjadi seorang filosof yang beraliran eksistensialisme, dalam potongan dialog tersebut dapat ditangkap keresahan akan suatu waktu, dimana manusia mulai bingung karena tidak lagi dapat menemui figur pemimpin. Tentunya yang dibutuhkan dunia sekarang ini adalah manusia-manusia unggul. Bukan saja itu diharuskan bagi para jelata, tapi yang terutama adalah jiwa manusia unggul yang ada dalam diri para pemimpin bangsa.

Bagaimana mungkin suatu bangsa dapat mengikuti ataupun berada dalam naungan suatu kepemimpinan yang tidak dapat diandalkan, tidak memiliki keunggulan dalam kepemimpinannya atau bahkan memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih rendah dari yang dipimpinnya, semua itu hanya akan menempatkan suatu bangsa pada keadaan yang berbahaya.

Tentunya membicarakan hal demikian adalah terlampau jauh, membicarakan nasib suatu bangsa seperti melamunkan masa depan dan cita-cita kebangsaan yang masih juga diraba-raba keberadaannya. Kita tentu hanya bisa berupaya mempersiapkan sebuah generasi yang memiliki nilai lebih dari generasi sebelumnya sekaligus memunculkan figur-figur pemimpin masa depan. Mungkin juga ini terlalu ngawur, tapi tidak ada salahnya untuk memulai membicarakannya, toh kita sedang berusaha untuk selalu berbenah dan figur-figur pemimpin akan muncul melalui gemblengan di ruang-ruang pendidikan. Dan pada dasarnya manusia adalah pemimpin, terutama sekali disini adalah memimpin dirinya sendiri.

Sebagaimana kata pepatah, untuk merubah dunia maka harus berani merubah diri sendiri, tentu dengan berbenah dan senantiasa melakukan introspeksi. Baik atau buruknya kepemimpinan seseorang akan selalu terkait dengan moralitasnya, jadi klarifikasi terhadap rekam jejak tentu menjadi hal terpenting dalam menentukan figur pemimpin, dengan begitu membangun karakter kebangsaan akan jadi hal utama dalam proses pendidikan dan dalam hal ini sangatlah diharapkan keterlibatan pelajar dalam dialog terbuka.

Terdapat beragam konsep kepemimpinan yang semuanya mencita-citakan suatu kepemimpinan yang baik, dari yang klasik seperti konsep kepemimpinan Hasta brata yang membicarakan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin lewat gambaran delapan sifat alam, ataupun Catur Paramitha yang berangkat dari ajaran Hindu yang merupakan landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau etika.

Hingga konsep yang sengaja diimpor untuk memperkaya pemikiran tentang kepemimpinan sebagaimana model kepemimpinan visioner dan kepemimpinan passioner. Konsep kepemimpinan visioner berangkat dari istilah visi yang berarti kemampuan untuk melihat inti persoalan, pandangan, wawasan dan pengamatan. Visi melibatkan logika dan intuisi, pikiran dan perasaan, pengalaman masa lampau dan kemungkinan masa depan.

Secara umum, ada tiga macam visi yang seringkali dipakai dalam kepemimpinan, yaitu: 1). Visi tentang masa depan yang mungkin terjadi; 2). Visi masa depan yang diinginkan, dan; 3). Visi masa depan yang baik atau yang hancur.

Dengan begitu konsep ini banyak menuntut keterlibatan baik anggota maupun pengalaman untuk merumuskan suatu pandangan dan tujuan.

Konsep passioner adalah kepemimpinan yang mengandalkan kekuatan passi yang diartikan sebagai cinta, motivasi, inspirasi dan perhatian.

Kepemimpinan passioner cenderung menumbuhkan kecintaan dan pembelaan (fanatik) dari yang terpimpin pada sang pemimpin. Meskipun perpaduan antara dua konsep kepemimpinan ini memiliki kekuatan yang hebat, perpaduan antara keduanya juga memiliki kerawanan, sebab pada dasarnya keduannya juga memiliki sudut pandang yang bertolak belakang satu sama lain.

Dari sini dapatlah diungkapkan bahwasannya figur pemimpin yang diharapkan tidaklah cukup hanya dengan kepandaiannya berorganisasi atau sekedar memiliki pengetahuan yang memadai untuk memimpin, tapi juga dibutuhkan pemimpin yang mampu memberi keteladanan bagi yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pengetahuan tanpa kemampuan untuk bertindak adalah percuma, belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku adalah percuma. Ibarat pohon yang tiada berbuah.

Kembali lagi, dimana pada dasarnya manusia terlahir untuk memimpin, terutama adalah memimpin dirinya sendiri, terkait bagaimana ia mewakili dirinya dihadapan masyarakat yaitu bagaimana ia menempatkan segala sesuatunya dengan baik dan benar, terutama disini menempatkan dirinya dengan baik dan benar.

Membangun karakter kebangsaan

Pancasila merupakan suatu gagasan tentang suatu tatanan masyarakat yang diimpikan dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia adalah tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Terlepas dari tercapai atau tidaknya tujuan tersebut, pada dasarnya bangsa Indonesia akan selalu melakukan dialog untuk mencapai suatu kesepakatan bersama dengan berpedoman pada nilai-nilai Pancasila.

Dalam catatan sejarah perkembangannya Pancasila selalu tidak lepas dari upaya penyimpangan yang tentunya melalui penafsiran tunggal, dimana dalam upaya penafsiran tersebut diakui atau tidak juga terdapat unsur pemaksaan suatu gagasan orang seorang kepada masyarakat, yang secara langsung juga telah mencederai Pancasila itu sendiri.

Hal ini terjadi karena Pancasila sendiri sebagai dasar negara dan falsafah bangsa memiliki nilai-nilai universal yang sangat mungkin untuk ditafsirkan dan dikembangkan. Sebagaimana juga telah diakui oleh pemikir sekelas Gus Dur bahwa ini terjadi karena Pancasila tidaklah diciptakan sebagai tuntunan operasional secara detail dan rigid. Pancasila menyediakan ruang dasar-dasar yang perlu dikembangkan, yang satu sama lain saling terkait dan tidak boleh ditinggalkan. Dalam perkembangan inilah terjadi perbedaan-perbedaan, dan ini wajar saja sesuai dengan perkembangan demokrasi yang berjalan di negara Indonesia.

Untuk itulah perlu adanya dialog dalam setiap penafsiran Pancasila, yang mana oleh Gus Dur disebut sebagai ketegangan kreatif yang tidak perlu ditutup-tutupi oleh siapapun, yang tentunya diharapkan tidak menimbulkan saling permusuhan dan bertolak belakang. Ketegangan kreatif itu artinya suatu sikap kelapangan dada dan toleransi dalam lalu lintas kebangsaan yang kreatif untuk kemajuan dan mengembangkan kualitas bangsa Indonesia.

Tentu suatu harapan dimana dalam suatu masyarakat yang baik akan memunculkan pemimpin yang baik, sebab lingkungan memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk watak seseorang, dan sangat perlu kirannya untuk kembali menggali nilai-nilai Pancasila yang juga merupakan cita-cita berbangsa. Dengan begitu sangatlah penting untuk membentuk tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tentunya dengan keteladanan kepada masyarakat tentang nilai-nilai Pancasila. Disini dapat diutarakan sekali lagi, bahwa belajar tanpa adanya perubahan tingkah laku adalah sama halnya dengan pohon yang tiada berbuah.

Terkait dengan masalah kepemimpinan Pancasila yang mana adalah kepemimpinan yang membawa masyarakat dalam kesadaran berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD’45.

Untuk itu perlu juga disertakan pandangan Ir. Soekarno tentang Pancasila, dimana Pancasila menurut Ir. Soekarno dapat disederhanakan menjadi trisila: 1). Sosiodemokrasi, dimana pelaksanaan demokrasi yang tidak hanya mengurusi kehidupan politik semata, tapi juga kehidupan ekonomi dan sosial budaya; 2). Sosionasionalisme, yaitu nasionalisme yang tidak hanya semata mencintai tanah air dan bangsanya, tetapi lebih mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata; 3). keTuhanan yang merupakan pernyataan tegas bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama. dan dari tri sila ini dapat pula disederhanakan menjadi eka sila yaitu gotong royong.

Inilah inti dari Pancasila yang menekankan kegotong royongan daripada perpecahan, lebih jauh daripada itu, sebagaimana amanat sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dimana kesadaran diri sebagai seorang manusia adalah yang terpenting untuk kemudian berlaku adil, tentu keadilan tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kesadaran akan kemanusiaan.

Terutama sekali adalah adil terhadap diri sendiri dengan memperlakukan diri sebagai manusia yang juga memiliki kelemahan, misalnya: manusia itu bisa merasakan lapar atau kantuk, maka jika lapar ya harus makan dan tidur ketika mengantuk. Setelah itu adalah adil terhadap sesama dengan memperlakukan orang lain sebagai manusia yang juga memiliki kelemahan, misalnya kalau dipukul itu sakit ya jangan memukul, kemudian pula adil terhadap Tuhan, dengan melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya untuk mencapai manusia yang beradab.

Dengan begitu, pemimpin yang besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang dipimpinnya) dengan apa adanya atau katakanlah seorang pemimpin besar adalah mereka yang mampu dan mau memanusiakan manusia, tentu terutama dengan memanusiakan diri sendiri, tidak akan mungkin dapat memanusiakan orang lain tanpa ada kesadaran diri sebagai seorang manusia.

Homogenitas masyarakat Indonesia yang memiliki corak kebhinekaan, baik etnis, suku, budaya, maupun keragaman dalam politik dan ekonomi, hal ini memungkinkan sekali untuk memunculkan pola pikir yang mementingkan kelompok atau primordialisme dan sulitnya penyesuaian terhadap nilai-nilai baru. Oleh karena itu.

Dalam pada itu perlunya pembangunan karakter kebangsaan dengan menggali kembali nilai-nilai Pancasila untuk membangun tatanan masyarakat yang berbudaya dan berkualitas sesuai dengan cita-cita bangsa. Dan dalam masyarakat yang baik senantiasa akan mencetak pemimpin yang baik yang tentunya dengan membangun suatu tatanan masyarakat yang baik.

Daftar Pustakanya

Friedrich Nietzsche. 2008. Zarathustra. Yogyakarta: Quills Book Publisher.

Nur Khalik Ridwan. 2010. Gus Dur Dan Negara Pancasila. Yogyakarta: Tanah Air.

M.N. Ibad. 2010. Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Dr. Franz Magnis-Suseno. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pandawa-Pancasila

Dalam saya mengikuti-membaca kisah Mahabarata saya mencoba merangkum perwatakan/sifat yang dimiliki oleh tokoh-tokoh yang terlibat didalamnya. Dan memang akan terkesan mengherankan jika membaca judul tulisan ini, tentunya bagi para pecinta ‘wayang’ yang sangat mungkin didalamnya adalah para dalang, tapi inilah yang jadi pertanyaan bagi saya sendiri: dalam perkara apa sifat/watak para Pandawa dikaitkan dengan sila-sila Pancasila? Mungkin pula hal ini akan memunculkan protes, inilah tulisan yang sekiranya hanya mengajak berdialog mencari lagi setapak budaya sekedar berpartisipasi dalam ‘nation character building’.

Kita mengenal tokoh-tokoh Pandawa dalam kisah Mahabarata, Pandawa lima, diceritakan sebagai lima bersaudara putra Pandu yang memiliki sifat dan kelebihan masing-masing disamping kehadiran mereka sebagai ksatria, lalu apa hubungannya dengan sila-sila Pancasila? Bukan lantaran konsep ‘tuk gala gathuk’ saya kemukakan padangan ini, tapi pada dasarnya saya menangkap keunikan (atau mungkin karena ketidak tahuan?). Untuk kurang dan lebihnya saya mohon maaf.

Pandawa dalam versi India diceritakan memiliki istri tunggal, Dewi Drupadi, dan dalam versi Jawa tidak dikisahkan demikian, dalam versi Jawa para Pandawa memiliki istri (garwa) masing-masing, misalnya tokoh Bima yang beristri Dewi Arimbi, ketertarikan Bima pada Dewi Arimbi semata pada keluhuran dan keagungan Sang Dyah Ayu. Demikianlah sedikit simbolisasi perwatakan dalam kisah pewayangan yang memang penuh dengan simbolisasi karakteristik manusia.

Yudistira, tokoh protagonis yang digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, merupakan saudara pandawa yang tertua. Dibandingkan dengan keempat saudaranya yang lain, Yudistira tampak paling lemah, dengan ‘kanuragan’ yang biasa-biasa saja, suatu hal yang memunculkan pendapat bahwa kepemimpinan yang dipegangnya juga akan lemah, lebih banyak berpikir daripada bertindak; lambat mengambil keputusan dan tidak tegas. Sebaliknya, diceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Yudistira inilah pihak Pandawa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi, termasuk dalam perseteruan dengan Kurawa.

Sifat Yudistira tercermin dalam julukannya seperti ‘Ajatasatru’ yang berarti tidak memiliki musuh; ‘Gunatalikrama’ pandai bertutur bahasa; ‘Samiaji’ atau menghormati orang lain seperti diri sendiri dan Yudistira sendiri berarti pandai memerangi nafsu pribadi. Yudistira banyak meluangkan waktu untuk ‘semedi’, berkontemplasi dan berkomunikasi dengan Sang Hyang Tunggal. Kesederhanaan adalah gambaran khasnya.

Sebagaimana kebiasaan tokoh pewayangan, Yudistira juga memiliki ‘gegaman’ atau senjata khusus yaitu ‘kyai tunggul naga’~mendengar nama ini penulis jadi ingat nama tombak yang menjadi pusaka milik Raden Batara Katong pada masa kesultanan Demak Bintoro, terlepas benar atau tidak, juga mengenani filosofi payung bisa kita bicarakan lain waktu dan lain tempat.

Selain ‘gegaman’ terdapat juga ‘jimat jamus kalimasada’ yang terkenal, sepanjang sepengetahuan saya, jamus kalimasada sendiri merupakan akronim dari ‘kalimat syahadat’ dari kata ‘syahida’ yang berarti “ia telah menyaksikan” yang merupakan kalimat pernyataan keesaan Allah dan nabi Muhammad sebagai utusanNya. Merupakan pernyataan ketertundukkan terhadap Tuhan, tauhid, konsep radikal yang mampu menghantam konsep ketertundukkan manusia terhadap selain Tuhan yang pada kenyataannya (sepanjang sejarahnya) selalu saja menindas manusia itu sendiri.

KeTuhanan Yang Maha Esa, merupakan pernyataan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, tidak tunduk pada sesuatu apapun kecuali pada Tuhan. Sederhananya bahwa seluruh agama akan selalu membawa kebaikan dan negara tidak terbentuk atas dasar kepentingan kelompok atau orang seorang, negara ada karena musyawarah, kepentingan bersama dan inilah amanat Tuhan.

Sesuai dengan watak tokoh Yudistira, jujur dan sabar yang tak mungkin dapat diwujudkan dalam perilaku tanpa ada dasar keyakinan kepada Tuhan dan ketertundukkan kepada Tuhan. Kepemimpinan yang digambarkan lewat tokoh Yudistira adalah kepemimpinan yang diharapkan, mengerti kapan berkata ‘ya’ dan ‘tidak’, dengan wawasan yang luas dan kepasrahan terhadap keputusan Sang Hyang Tunggal sepertinya memberi jalan untuk mengantisipasi segala permasalahan dengan tepat dan bijaksana.

Werkudara, lebih dikenal dengan nama Bima atau Bimasena, anak kedua Pandu yang paling kuat, dalam setiap kisahnya selalu digambarkan heroik. Dari namanya sudah dapat digambarkan watak/sifat, seperti Bima yang dalam bahasa sansekerta berarti ‘mengerikan’, Werkudara dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara yang berarti ‘perut serigala’ dan Bimasena yang berarti ‘panglima perang’. Sifat yang melekat dalam tokoh ini adalah kejujuran, keluguan dan kebersahajaan, seperti seorang yang menyadari sepenuhnya kemanusiaannya.

Ir. Soekarno sangat mengagumi tokoh Bima dan sempat mengidentifikasi dirinya mirip dengan tokoh Bima. Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.

Kemanusiaan yang adil dan beradab, menyadari diri sebagai manusia ciptaan Tuhan, dengan menyadari diri sebagai manusia maka harus mampu pula memanusiakan manusia. Menjadi manusia yang adil yang tentunya harus sadar bahwa diri sebagai manusia, lalu adil terhadap diri, misalnya manusia itu pasti akan merasa lapar, kalau lapar harus makan, lalu adil terhadap manusia yang lain, memanusiakan manusia, berlaku sebagaimana ‘tat twam asi’ kemudian adil terhadap Tuhan, menjalankan perintahNya menjauhi laranganNya. Mencapai manusia yang beradab. Hanya dengan menyadari diri sebagai manusia lah hal itu dapat terjadi.

Moral memiliki dasar kemanusiaan, kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun, bergerak lurus, kejahatan terhadap kemanusiaan disuatu wilayah akan menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan diseluruh belahan bumi manapun.

Disetiap pertunjukkan wayang kulit, dalang akan selalu mengatakan“Jalan Raden Bratasena (salah satu nama dari Werkudara) lurus dan mengikuti apa kehendaknya. Lompat Raden Bratasena sejauh penglihatan gajah. Cepat sebagai kilat.” Lalu gunungan dilewatkan berulang-ulang, diiringi ‘suluk’ atau lagu yang membangkitkan kegeraman pendengarnya. Hal ini menggambarkan lurusnya hati si tokoh dalam dunia wayang, tidak gentar menggenggam kebenaran, amarah yang sangat manusiawi terhadap segala yang rapuh dan goyah sebagaimana perlambangan munculnya Bratasena yang diiringi angin ribut, pohon yang akarnya dalam, patah, dan yang tak dalam tumbang. Demikianlah kemanusiaan, akan selalu bergerak lurus dimanapun dan sampai kapanpun.

Sebagai panglima perang, Bimasena adalah yang terdepan (selalu tampil digaris depan)~dalam perang Baratayuda, Bimasena memimpin pasukan garis depan (bahkan benar-benar didepan pasukannya) berjalan tanpa tunggangan, sekaligus memungkasi perang tersebut dengan menepati janjinya untuk meremukkan paha Duryudana.

Arjuna, tokoh ketiga dalam pandawa yang akhir-akhir ini cukup populer, lebih dikenal dengan ketrampilan memanah, lebih dari itu dalam wayang kulit kehadiran Arjuna selalu dengan kepala merunduk, seperti halnya padi ‘semakin berisi semakin merunduk.’

Dalam wiracarita Mahabarata Arjuna digambarkan sebagai sosok yang rupawan dan lemah lembut, memiliki sepuluh nama yang masing-masing nama selain menggambarkan sifat/watak juga merupakan janji sang Arjuna. Arjuna sendiri dalam bahasa sansekerta berarti “bersinar terang”, “putih”, “bersih”. Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti “jujur di dalam wajah dan pikiran”. Memiliki beragam ‘gegaman’ dan ‘kanuragan’.

Persatuan Indonesia, tentunya dapat dirajut dengan kerukunan antar kelompok-kelompok masyarakat yang beragam, keadaan yang mana semua pihak mulai membuka diri satu sama lain, mau menerima dan saling mengisi, tidak sebaliknya dimana masing-masing pihak mulai menonjolkan diri dengan ego ke’aku’annya. lebih dari itu, keadaan bersatu merupakan senjata yang ampuh bagi Indonesia untuk menjawab tantangan jaman. Tidak hanya mengandalkan keris, rencong ataupun kujang. Bukan hanya Jawa, Aceh, Kalimantan ataupun Papua yang berada di garis depan, tapi keseluruhan yang saling mengisi dalam persatuan.

Nakula, merupakan putera Dewi Madri, dalam pewayangan Jawa Nakula memiliki nama Pinten (tanaman yang daunnya dapat digunakan sebagai obat) dan merupakan titisan Batara Aswin, dewa tabib.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Mempunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, dimana Nakula tidak akan pernah lupa tentang segala hal.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, merupakan hakikat dari demokrasinya Indonesia, rakyat yang berdaulat mendelegasikan atau mempercayakan kekuasaannya untuk dijalankan oleh wakil-wakilnya atas dasar musyawarah mufakat.

Sebagaimana penggambaran watak tokoh Nakula, wakil rakyat sudah seharusnya jujur, setia dan tahu membalas guna. Lebih lanjut, tidak mudah lupa kalaupun tidak mampu untuk selalu ingat tentang segala hal.

Tokoh berikutnya adalah Sadewa yang merupakan saudara kembar Nakula, tapi memiliki kelebihan dibanding saudara kembarnya yaitu pandai dalam segala ilmu pengetahuan, terutama disini tentang astronomi, peternakan dan pertanian, mampu memprediksi (untuk tidak mengatakan meramal) kejadian yang akan datang.

Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, inilah yang menjadi cita-citanya bangsa Indonesia ketika membangun sebuah negara yang bernama Republik Indonesia, cita-cita dimana masyarakatnya hidup tidak dalam penghisapan oleh yang lain, atau tidak dalam keadaan dibodohi oleh sebagian yang lain, oleh karenanya ilmu pengetahuan adalah sangat penting dalam membangun kesadaran berdaulat rakyat Indonesia.

Disamping itu, tokoh Nakula dan Sadewa juga diceritakan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pandawa, tentu, rakyat akan semakin loyal terhadap negara andaikata sila keempat terlaksana dengan baik bahkan sila kelima dapat tercapai.

Demikian sedikit usaha saya dalam menggambarkan sila-sila Pancasila lewat perwatakan tokoh wayang sekiranya memang untuk kembali mengkampanyekan Pancasila, dan Pancasila sebagai gagasan yang sekaligus cita-cita besar ini dapat terus dikaji dan senantiasa diperkenalkan kepada tiap-tiap generasi.

Akhirnya dapat pula kita renungi makna semboyan “Bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa”: berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak ada kebenaran yang mendua dan semoga kebenaran datang dari segala arah. Merdeka.

Yoehan Rianto Prasetyo

dari catur paramita hingga ‘ngemong roso’

Mau diakui atau tidak, pada dasarnya moral yang memiliki dasar kemanusiaan selalu mengalami dialektika, sebab bertemunya budaya-budaya yang juga membawa nilai-nilai moralnya. Sedangkan kemanusiaan yang menjadi dasarnya moral adalah sama dimanapun dan kapanpun.

Dengan begitu moral pada dasarnya akan selalu dipelajari, tiap generasi mempelajari segala yang ditemukan oleh generasi sebelumnya, dan dalam tiap proses belajar itu terjadi pula dialektika ‘perulangan’. Berikut merupakan ajaran-ajaran yang sarat akan nilai moral yang ada dalam kebudayaan yang kiranya cukup patut menjadi bahan diskusi dalam menyimak kembali nilai-nilai moral yang telah ada dalam budaya Nusantara demi proses ‘nation character building’.

Catur Paramita, berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata ”catur” yang berarti empat dan ”paramita” berarti sifat dan sikap utama. Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila. Catur Paramita merupakan salah satu dari landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau ethika dalam ajaran agama Hindu.

Adapun bagian-bagian catur paramita antara lain :

Maitri artinya semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya. Untuk berbuat Maitri, maka kita jangan melakukan / berbuat bencana yang bersifat maut (Anta Kabhaya) atau jangan membenci.

Karuna artinya belas kasih, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua makhluk. Untuk berbuat karuna, maka pantang melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa, kesengsaraan, atau jangan bengis.

Mudita artinya selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan terhadap yang baik serta sopan santun. Untuk dapat berbuat mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain.

Upeksa artinya senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu diri (mawas diri). Untuk berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.

Ajaran Catur Paramita merupakan realisasi dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan bentuk penyempurnaan etika-perbuatan bagi masyarakat Hindu. Tat twam asi sendiri merupakan suatu ungkapan yang berarti, kurang lebih adalah kau adalah aku, lebih dari itu tat twam asi merupakan filosofi yang mengajarkan bahwa apa yang dirasakan oleh manusia adalah sama. Tiap-tiap orang memiliki rasa sakit yang sama dan sama-sama tidak ingin mengalaminya, jika kena pukul itu sakit maka janganlah memukul orang lain, jika dibenci atau dikucilkan itu tidak menyenangkan maka jangan membenci atau mengucilkan orang lain.

Mengejek, fitnah atau hal-hal lain yang tidak manusiawi memang sudah selayaknya dihindari, sebaliknya hal-hal/perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang lain atau minimal berdampak pada kebahagiaan-kenyamanan bagi orang lain adalah yang diharapkan.

Selaras dalam hal ini ada ungkapan dalam masyarakat Jawa “mikul duwur mendem jero” yang berarti akan lebih baik jika menjunjung kebaikan dan melupakan segala yang buruk dalam hal ini lebih pada prinsip hidup tidak menyimpan dendam yang pada kenyataannya malah sering dimanfaatkan secara pragmatis.

Adapula dalam filosofi Jawa yaitu ‘ngedu roso’ yang berarti mengadu rasa atau bisa juga dikatakan ‘ngemong roso’ atau menjaga rasa, hal ini lebih sulit dilakukan sebab menyangkut ‘perasaan’. Apalagi dalam era liberal saat ini yang lebih mengedepankan hak asasi secara individual, jangankan untuk menjaga rasa, perhatian terhadap kepedulian sosial sangat minim. Sepertinya kita sebagai generasi bangsa yang mewarisi budaya luhur ini lebih suka melihat kehancuran seseorang daripada turut berpartisipasi membangun dan memperkuat sesama. Meskipun demikian dapatlah selalu kita harapkan, kita cita-citakan suatu tatanan kemasyarakatan yang penuh dengan kepedulian, kalau tidak dengan generasi kita, boleh dengan generasi mendatang, kalau tidak sanggup untuk peduli bolehlah hanya sekedar menjaga perasaan.

Sebagai tambahan, sebagaimana komentar seorang teman lewat jejaring sosial ‘face book’ yang mempertanyakan kecenderungan mengalah dalam konsep catur paramita dan ada tidaknya manusia yang sebagaimana dimaksudkan dalam catur paramita, yang memang faktanya hanya ada kepentingan dan pembenaran/pewajaran, tapi bukannya tidak ada manusia semacam itu, dari Abdullah bin Mas’ud: seolah-olah aku masih teringat (melihat) Rasulullah Saw. melukiskan nabi terdahulu ketika dipukuli oleh kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari wajahnya sang nabi berdoa “Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ya’lamuun (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu).

Pada akhirnya dapat saya gunakan pula istilah manusia dalam bahasa Jawa yaitu ‘Manungso’ yang diartikan ‘manunggale roso’ atau menyatunya rasa, dan kehadiran manusia dalam hidup ini memanglah akibat dari menyatunya rasa. Tentunya rasa yang dikatakan baik, bukan lantaran dengki, iri, dendam, atau bahkan karena intrik.

Yoehan Rianto Prasetyo

Idealisme-pragmatisme-profesionalisme

Pada dasarnya perdebatan antara materialisme dan idealisme telah berakhir beberapa abad yang lalu dengan runtuhnya kekuatan komunis soviet, ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin yang juga merupakan tanda satu episode sejarah. Perang dingin.

Komunisme memiliki dasar materialisme, ia merupakan bentuk revisi terhadap sosialisme-ilmiah (Marxisme), sosialisme sendiri pada dasarnya adalah bentuk idealis atau oleh Karl Marx disebut sebagai ‘sosialisme utopis’. Sosialisme merupakan reaksi dari ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme, kapitalisme juga memiliki dasar materialisme yang muncul dari kalangan liberal untuk mendobrak kakunya sistem feodalism. Inilah episode sejarah perdebatan antara materialisme dengan idealisme. Sekedar intermezzo, kurang atau lebihnya saya mohon maaf.

 

Tulisan (kali) ini tidak sedang mempertentangkan kembali antara Idealisme dengan materialisme, tapi mencoba mencari perbandingan antara Idealisme dengan pragmatisme dan idealisme dengan profesionalisme. Selalu saja menjadi warna yang dramatis dalam realitas tentang pertentangan-pertentangan, yang utama dan sering terlihat lugas adalah antara idealisme dengan pragmatisme, tidak hanya dalam urusan partai politik, tapi dalam dunia kerja, bahkan sangat mungkin diruang keluarga.

Saya mulai dengan idealisme, Idealisme adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme Epikuros, memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Sederhanya: “pikiran mempengaruhi keadaan”. Secara etimologis, Idealisme berasal dari kata ‘ide’ yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik.

Idealisme memiliki dua bentuk, yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.

Dalam realitas kehidupan, orang yang-katakanlah: idealis, memilih sikap-sikap yang berusaha melawan dominasi, sikap-sikap ini dapat dikelompokkan dalam dua type: frontal dan moderat. Type frontal yaitu tetap keras pada pendirian dan idealismenya dengan memperjuangkan nilai-nilai dan cita-citanya secara konsisten. Kecenderungan yang dilakukan adalah bersikap keras terhadap penyelewengan yang ada disekitarnya. Resiko yang dihadapinya adalah adanya upaya-upaya orang lain untuk mendiskriditkanya, memojokannya bahkan dikucilkan dari lingkungannya. Jika yang bersangkutan memiliki gerbong, maka gerbongnyapun tak akan luput dari upaya-upaya untuk dihancurkan arus utama.

type moderat yaitu berupaya tetap mengikuti budaya yang ada dengan benteng moralitas dan idealisme yang menjadi cita-citanya. Type seperti ini menghendaki adanya perbaikan terus menerus dengan cara-cara yang elegan tanpa ada benturan yang keras disana-sini. Berupaya tetap solid bersama orang-orang yang ingin perbaikan melalui proses yang dapat diterima kalangan baik yang pragmatis maupun frontal.

 

Pragmatisme, adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. Tidak ingin muncul atau terdapat perdebatan demokratis yang berkepanjangan.

Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, atau sederhananya, keadaan mempengaruhi pikiran, tentu sangat materialistis. Dengan begitu filsafat pragmatis tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih hal-hal yang bersifat metafisik. Teori pragmatis menyatakan bahwa ‘apa yang benar adalah apa yang berfungsi’.

Dalam realitas, orang pragmatis selalu digambarkan dengan salah kaprah, sering digambarkan dengan sosok yang simple, yang (padahal) sebenarnya penuh dengan skenario dan intrik. Type pragmatis memiliki kecenderungan untuk berperan dominan dan berlindung dibalik layar, katakanlah ‘dalang’.

type pragmatis setelah mengetahui bahwa realitas pekerjaan dapat dipermainkan dengan aman demikepentingan pribadi maupun golongan. Type seperti ini mengikuti arus utama dalam perhelatan yang terjadi dalam institusi birokrasi, perusahaan, legislatif maupun yudikatif. Aksi tipu-tipu, manipulasi, menerima suap maupun upeti merupakan budaya yang biasa dalam kamus hidupnya.

 

Dan sampailah pada profesionalisme, yang secara serampangan selalu saja diidentikkan dengan pragmatisme, dan secara serampangan pula dipertentangkan dengan idealisme.

Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya ter­dapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional (Longman, 1987).

pemahamannya: Profesional, ialah seseorang yang melakukan suatu (kegiatan, aktivitas, usaha, pekerjaan) yang dilakukan untuk mendapatkan (nafkah, kesenangan) atau memberi (konstribusi) dengan mengandalkan (keahlian, keterampilan, kemahiran) yang tinggi dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Profesionalisme Lebih mengarah pada (spirit, jiwa, sikap, karakter, semangat, nilai) yang dimiliki dari seorang yang profesional.

Tanpa profesionalisme sebuah institusi, sebuah organisasi, sebuah perusahaan tidak akan bertahan lama dan langgeng, karena jiwa profesionalisme inilah yang menghidupkan setiap aktivitas-aktivitas yang ada didalamnya.

Julukan profesional sebenarnya bukan label yang kita berikan untuk diri sendiri melainkan penilaian orang lain atas kinerja dan peforma yang kita tampilkan.

Profesional tanpa idealisme adalah tidak mungkin, sebab profesionalisme butuh etika untuk melaksanakannya, dan etika hanya akan didapat dari idealisme. Simpel saja, dengan menaati aturan, nilai-nilai moral dan memegang teguh hal hal tersebut maka kinerja seseorang dapat dikatakan profesional, sesuai dengan profesinya. Salam berdaulat.

 

Oleh: Yoehan Rianto Prasetyo

Penulis mengharap kritik, saran dan masukkan untuk kesempurnaan tulisan ini.

dialog moral

Moral itu hasil dialektik, tidak bisa ditentukan dan ditetapkan oleh seseorang, hanya agama yang akan jadi muaranya, jadi bukan sekedar kesepakatan. Seseorang jadi tahu ‘baik’ dan ‘buruk’ dengan cara belajar, sama seperti ketika seseorang tahu bagaimanakah rasa sakit, seperti: memegang api itu panas.
Hanya orang dungu yang kembali mengeksperimenkan nilai-nilai moral yang sudah diketahui baik dan buruknya, sama seperti sedang mencoba memanggang tangannya meski sudah diberi tahu kalau api itu panas.
lebih bodoh lagi kalau orang itu malah menerabasnya, seakan sedang dengan bangganya membakar dirinya sendiri.

Moral itu dasarnya adalah kemanusiaan, segala hal perbuatan yang tidak manusiawi sudah pasti memiliki moralitas yang buruk, sedangkan segala hal perbuatan yang manusiawi belum tentu memiliki moralitas yang baik.
Jadi harus kembali dibenturkan lagi pada tujuan hidup manusia, yaitu ‘bahagia’.
Bahagia, kebahagiaan tidaklah sama dengan ‘senang’ kesenangan, sebab senang kesenangan sifatnya hanya sementara, sedangkan kebahagiaan haruslah kekal.
Disini berarti bahagia atau kebahagiaan itu tidak terdapat dalam kehidupan duniawi, kebahagiaan yang bersifat kekal itu hanya ada di surga, akhirat, kehidupan setelah mati. Dengan begitu tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan di surga dengan jalan melaksanakan sarana-sarana yang telah disediakan oleh Tuhan di dunia fana ini, bukankah pemilik surga adalah Tuhan?.

pancasila, norma dasar yang terbuka

Pancasila merupakan gruond norm (norma dasar) bagi bangsa Indonesia, dengan begitu segala bentuk norma dan peraturan haruslah bersumber ~ dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
sebagai ‘norma dasar’, Pancasila bagi bangsa Indonesia telah lebih dari sekedar ideologi, yang merupakan petunjuk hidup bagi rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
sebagaimana kutipan syair lagu Iwan Fals ‘bangkitlah putra-putri pertiwi’ yang menyebutkan: Garudaku bukan burung perkutut, sang saka bukan sandang pembalut… Pancasila bukanlah rumus kode butut… yang hanya berisi khayalan, yang hanya berisi harapan.
Pancasila bukanlah sekedar ideologi, dengan penyebutan lain; gagasan namun juga merupakan cita-cita dari bangsa Indonesia, Pancasila adalah pedoman bagi pergaulan masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
hal ini bukan berarti penerapan Pancasila harus kaku, segalanya musti atas dasar Pancasila, sebab tidak terdapat ‘blue print’ dalam Pancasila untuk melaksanakan sila-silanya.
Ideologi akan menjadi dogmatis jika terdapat ‘blue print’ didalamnya dan untuk melaksanakannya, dan segala paham maupun ajaran yang bersifat dogmatis hanyalah sebuah paham yang rapuh, oleh karenanyalah Pancasila merupakan ideologi terbuka yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. ideologi yang doktriner merupakan ideologi tertutup seperti halnya marxis-leninisme (komunisme) yang tidak mengakui adanya perbedaan, sedangkan perbedaan merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku, agama dan etnis. Tanpa perbedaan tidak akan ada konflik, dan tanpa konflik tidak akan ada perubahan, sedangkan revolusi masih akan terus berlanjut.
dalam catatan sejarah, hanya ada satu rezim yang pernah dan ingin membuat Pancasila berlaku secara kaku, dengan membuat ‘blue print’ yang terinci dalam ‘butir-butir’ pelaksanaanya.

Bangsa tanpa cita-cita (Menjawab tanggapan blackenedgreen)

Hadirnya gemerlap kapitalisme didepan mata masyarakat Indonesia yang memang terlalu rindu untuk mendapati kebebasan yang ditawarkan liberalism dan kemudahan yang mewarnai pragmatisme, telah membuat bangsa ini tercengang dan seakan serempak untuk menanggalkan segala bentuk idealism dalam kehidupan.
Kutnya pragmatism yang menolak idealism dengan kebenaranya akan kegunaan telah menyulap bangsa Indonesia untuk tidak lagi meyakini gagasan-gagasan untuk menciptakan cita-cita. Dalam hal ini unsur pendukung lain dari penolakan terhadap idealisme adalah materialism yang sudah tentu tidak sesuai dengan idealisme, materialism memandang kebenaran adalah segala hal yang bersifat kebendaan dengan memungkiri kesadaran akan gagasan, dan materialism ada dalam kapitalisme.
Dengan dukungan pragmatism, liberalism dan materialism, kapitalisme telah mensyaratkan keseragaman berbudaya, gaya hidup dan berpikir yang seharusnya ~ saya katakan ‘seharusnya’ bukan ‘sebenarnya’, tidak cocok dengan bangsa Indonesia yang multi budaya.
Pengakuan terhadap keanekaragaman inilah yang sebenarnya menjdai senjata utama bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya, hal itu juga senyatanya telah ada didalam Pancasila yang mengakui sekaligus mendukung keberagaman dalam masyarakat Indonesia. Dan pancasila selain merupakan pedoman hidup berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia, pancasila juga merupakan tujuan atau cita-cita dari bangsa Indonesia yang lambat laun juga sudah mulai dikikis, jangankan untuk mencapai tujuan hidup bernegara~dalam hal ini terdapat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk melaksanakan sila-sila pancasila belum tentu sempat.
Dalam tulisan kali ini saya ucapkan banyak terima kasih kepada blackenedgreen yang telah menjadi ‘anti tesis’ bagi gagasan awal saya untuk mencapai gagasan-gagasan baru ~bukan gagasan ‘purna’ saya bilang, bukan pula ‘sempurna’ karena segala sesuatunya belum berakhir.
Bagi Soekarno, revolusi belum berakhir, itulah inspirasi saya. Manusia dalam dirinya sebagai makhluk sosial harus mampu membuat sejarahnya sendiri dalam arti ia (manusia) tidak sedang memilih, tapi menemui keadaan (realitas) yang merupakan warisan dari generasi sebelumnya yang telah membentuk kesadarannya.
Dalam kesadaran saya sebagai manusia yang menemui keadaan dimana keterasingan masyarakat Indonesia terhadap sosialnya, bahkan diri pribadinya yang telah ~ataupun cukup merubah pikirannya, menjauhkan dirinya dari peri kemanusiaannya.
Bagi saudara blackenedgreen yang berpendapat kita tidak perlu mempersalahkan kapitalisme akan keadaan dimana keadaan yang saya jumpai, manusia Indonesialah yang patut dicerca karena terlalu bodoh dengan menyerah terhadap prasyarat-prasyarat kapitalisme, ini merupakan anti tesis yang luar biasa bagi pikiran saya, sebuah bantahan yang memberi wawasan yang luput dari pengetahuan saya, dan tanpa harus merasa malu saya ungkapkan, hingga kini saya belum menemukan jawaban dari antahan tersebut.
Namun saya akan memberi bantahan, tentunya dengan harapan dapat menjadi anti tesis dari bantahan ~yang merupakan gagasan dari
Menyadari suatu keadaan tanpa melakukan tindakan adalah pasif, merupakan pandangan pesimis yang anti revolusioner, saya katakana seperti itu karena manusia dalam sejarahnya adalah usahanya dalam perlawanannya terhadap keadaan. Sejarah selalu berkisah tentang perlawanan si tertindas terhadap penindas, sadar akan adanya keadaan tanpa ada kemauan untuk berusaha melawan adalah tindakan yang tidak menginginkan adanya perubahan.
Keadaan bangsa Indonesia yang terlepas dari cita-citanya, kehilangan orientasinya adalah hasil dari penindasan yang menginginkan bangsa Indonesia menjadi budak. Ketidak turutcampuran orang-orang yang sadar akan hal ini bukan berarti akan menghindarkannya dari imbas, efek dari keadaan ini.
Dalam budaya muslim ~ yang ternyata juga ada dalam budaya masyarakat Jawa, terdapat ajaran moral yang menyatakan “janganlah hanya menyumbang kata jika memang ingin membantu, tapi sumbangkanlah segala yang kau miliki dank au mampui, termasuk tenaga, waktu dan harta yang kau miliki”.